Senin, 29 Oktober 2012

Industri Buku di Indonesia





Rumusan Masalah :
·         Apakah pengertian buku?
·         Bagaimana keadaan industry buku di Indonesia?
·         Kendala apa saja yang dihadapi dalam industry buku?
·         Bagaimana cara mengatasinya?

1.      Pengertian buku
            Secara umum pengertian buku adalah sebagai karya tulis ilmiah baik hasil tinjauan maupun hasil penelitian yang disusun sedemikian rupa menurut persyaratan tertentu yang ditetapkan dan diterbitkan.  Menurut Totok Djuroto buku dibedakan berdasarkan tujuannya, yaitu buku teks, buku pegangan, dan buku pelajaran.
            Ensiklopedia Indonesia ( 1980:538) menjelaskan dalam arti luas buku mencakup semua tulisan dan dan gambar yang ditulis dan dilukis atau segala macam lembaran papyrus, lontar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya: berupa gulungan, dilubangi dan diikat atau dijilid muka dan blakangnya dengan kulit, kain karton dan kayu.   

2.      Keadaan industry buku di Indonesia
            Dalam kemajuan teknologi saat ini yang semakin canggih dan cepat, membuat industry buku konvensional (buku kertas), digital maupun elektronik harus mengikuti perkembangan zaman tersebut, akan tetapi jika kita lihat dari biaya bukan tidak mungkin akan terjadi inflasi dalam proses penerbitan buku maupun jual beli buku. Karena seperti yang kita ketahui pula biaya produksi buku sangatlah tidak sedikit. Lalu dimanakah peran pemerintah? Dimana mereka menjadikan buku sebagai bisnis, yang setiap penerbitannya dikenai pajak. Harga buku yang tak seberapa tak sebanding dengan pajak yang dikeluarkan, karena jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sector industry lain. Hal itu menyebabkan adanya kesenjangan antara harga buku dan kualitas buku.
            Dalam Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah dalam produksi buku. Masyarakat memang mengapresiasikan pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.
Di saat yang sama, serupa pada industri media massa cetak, ramalan Thomas Meyer bahwa industri cetak akan mati, tetap jadi prediksi yang terus menghantui. Cetak tidak akan mati, ya, tetapi ketika tren penurunan media cetak termasuk buku terus merosot, yang diperlukan bukan hanya keyakinan, malainkan juga upaya supaya tidak melorot dan apalagi benar-benar habis.
Banyak dilakukan terobosan yang di kalangan industri media massa dikembangkan strategi multimedia, multiplatform, multichannel (3M). Kehadiran digital dan elektronik menjadi komplementer dan tidak saling mengerkah. Sinergi menjadi keniscayaan agar bisa bertahan dan berkembang. Strategi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun lebih awal dibanding Indonesia oleh para penerbit luar negeri.

3.      Kendala dalam Industri Perbukuan
·         Harga produksi yang relative mahal sehingga membuat pembeli terkadang harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan sebuah buku. Mengapa harga buku berfluktuasi dengan kecenderungan semakin mahal??Jika melirik sekilas kamar industri perbukuan, nampak tidak ada persoalan yang berarti. Dalam pengalaman Mas Ade (pemantik diskusi MCKM) memantau industri perbukuan di DIY, sembari membandingkan dengan hasil penelitiannya tentang sejarah perkembangannya pada kurun waktu 1998 – 2007, proses industri perbukuan berlangsung datar-stabil dengan aktivitas yang tidak berubah. Pemantik melihat bahwa alur atau proses produksi buku dari dulu sampai sekarang sama saja, yakni produksi akan selalu dimulai dari menemukan naskah, tahap pracetak, kemudian mencetak, hingga siap didistribusikan. Dalam setiap proses tersebut relative berjalan lancar. Terlebih industri perbukuan dalam konteks Yogyakarta, nyaris tanpa hambatan karena ditunjang oleh berbagai kemudahan mendapatkan semua komponen pendukung untuk penerbitan sebuah buku. Bahwa, "dengan jumlah kampus yang banyak,kita bisa menemukan sekian banyak penulis; dengan menjamurnya prodi desain grafis maka sekian banyak desain grafis bisa digunakan untuk buku; bahkan hampir di setiap gang ada percetakan mulai yang berskala besar hingga sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi sebuah buku". Betapapun demikian, kelancaran dan kemudahan dalam industri perbukuan ini bukan berarti tidak memiliki hambatan. Persoalan mulai muncul saat alur telah masuk pada pekerjaan pasca produksi. Pekerjaan pasca produksi salah satunya berhubungan dengan aspek pemasaran buku. Mas Ade merunut bahwa pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses administrasi yang rumit. distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga sekarang.
·         sistem pemasaran yang bermain diantara tiga aktor utama, penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%".
·         Tidak adanya kesempatan untuk buku baru,  dimana jika buku yang diproduksi kurang trend, maka sebentar saja akan segera disingkirkan dari floor display utama toko buku, karena termasuk dalam kategori tidak laris. Sehingga mengikuti arus pasar menjadi strategi untuk tetap berproduksi atau sebagai cara menjaga kelangsungan penerbitannya". Meskipun demikian, ada juga sebagian penerbit memainkan strategi antisipatif, yakni jika buku di pasar mainstream sudah tidak dilirik, maka sirkulasi dialihkan dengan mendekatkan pada konsumennya atau mencari pasar yang sesuai dengan jenis buku yang terbit tersebut. Namun model sedemikian cukup jarang terjadi. Dalam kisah pemantik (Mas Ade), pada tahun 2000-an awal, tema-tema yang minim (seperti 'khas Jogja') kurang diminati lagi oleh penerbit setara Gramedia. Dan semakin parah dengan tidak adanya pembaharuan dalam pola pemasaran yang berakibat pada semakin hilangnya buku-buku berkualitas (rujukan referensi) tergantikan oleh buku yang 'miskin pengetahuan'.
·         Kualitas yang tidak sebanding dengan harga, kualitas buku sekarang sangatlah berbeda jauh dengan buku terdahulu dimana isinya kurang lengkap dan jauh berbeda dengan kelengkapan buku terdahulu.
·         satu hal yang kiranya perlu lebih dicermati oleh penerbit bahwa sebenarnya banyak penulis-penulis muda dari akademisi yang masih membutuhkan ruang penerbitan untuk mendistribusikan ide-idenya. Namun hal itu sulit terwujud karena terkendala juga oleh alur industri perbukuan sendiri yang masih memprioritaskan penulis yang prominence.

4.      Cara mengatasi masalah
·         Introspeksi dalam industry buku
·         Adanya POD (Print on Demand) dalam dunia penerbitan. Mekanisme POD menawarkan pencetakan buku sesuai permintaan. Jadi buku dapat dicetak meski hanya 1 eksemplar, atau tergantung jumlah yang diinginkan. Mesin POD ini, menyelamatkan naskah-naskah yang dianggap kurang laku atau tidak diminati untuk tetap memenuhi kebutuhan sebagian konsumen lainnya. Keuntungan lain POD adalah dapat mempermudah orang awam memasuki dunia penerbitan. Begitu pula dengan para penulis baru yang membutuhkan ruang publikasi juga akan lebih mudah dengan POD. Kehadiran POD pun akhirnya banyak direspon oleh industri penerbitan di Jogja, mengingat hal ini juga dapat membantu kesinambungan penerbitannya.
·         Memberikan kesempatan kepada lulusan akademik untuk mengeluarkan ide-idenya agar produksi buku menjadi lebih bervariasi.
·         Isi buku yang menarik sehingga dapat menambah minat baca para pembaca.
·         Harga yang diberikan harus relative dan sesuai kantong. Agar antara kebutuhan dan pengeluaran itu balance.

Sumber :
Ø  Membongkar Industri Perbukuan Nasional

Industri Buku di Indonesia





Rumusan Masalah :
·         Apakah pengertian buku?
·         Bagaimana keadaan industry buku di Indonesia?
·         Kendala apa saja yang dihadapi dalam industry buku?
·         Bagaimana cara mengatasinya?

1.      Pengertian buku
            Secara umum pengertian buku adalah sebagai karya tulis ilmiah baik hasil tinjauan maupun hasil penelitian yang disusun sedemikian rupa menurut persyaratan tertentu yang ditetapkan dan diterbitkan.  Menurut Totok Djuroto buku dibedakan berdasarkan tujuannya, yaitu buku teks, buku pegangan, dan buku pelajaran.
            Ensiklopedia Indonesia ( 1980:538) menjelaskan dalam arti luas buku mencakup semua tulisan dan dan gambar yang ditulis dan dilukis atau segala macam lembaran papyrus, lontar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya: berupa gulungan, dilubangi dan diikat atau dijilid muka dan blakangnya dengan kulit, kain karton dan kayu.   

2.      Keadaan industry buku di Indonesia
            Dalam kemajuan teknologi saat ini yang semakin canggih dan cepat, membuat industry buku konvensional (buku kertas), digital maupun elektronik harus mengikuti perkembangan zaman tersebut, akan tetapi jika kita lihat dari biaya bukan tidak mungkin akan terjadi inflasi dalam proses penerbitan buku maupun jual beli buku. Karena seperti yang kita ketahui pula biaya produksi buku sangatlah tidak sedikit. Lalu dimanakah peran pemerintah? Dimana mereka menjadikan buku sebagai bisnis, yang setiap penerbitannya dikenai pajak. Harga buku yang tak seberapa tak sebanding dengan pajak yang dikeluarkan, karena jumlah jenis pajak pun terbanyak dibanding sector industry lain. Hal itu menyebabkan adanya kesenjangan antara harga buku dan kualitas buku.
            Dalam Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan pemerintah dalam produksi buku. Masyarakat memang mengapresiasikan pembentukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif lain, sebesar 17,5 persen.
Di saat yang sama, serupa pada industri media massa cetak, ramalan Thomas Meyer bahwa industri cetak akan mati, tetap jadi prediksi yang terus menghantui. Cetak tidak akan mati, ya, tetapi ketika tren penurunan media cetak termasuk buku terus merosot, yang diperlukan bukan hanya keyakinan, malainkan juga upaya supaya tidak melorot dan apalagi benar-benar habis.
Banyak dilakukan terobosan yang di kalangan industri media massa dikembangkan strategi multimedia, multiplatform, multichannel (3M). Kehadiran digital dan elektronik menjadi komplementer dan tidak saling mengerkah. Sinergi menjadi keniscayaan agar bisa bertahan dan berkembang. Strategi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun lebih awal dibanding Indonesia oleh para penerbit luar negeri.

3.      Kendala dalam Industri Perbukuan
·         Harga produksi yang relative mahal sehingga membuat pembeli terkadang harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan sebuah buku. Mengapa harga buku berfluktuasi dengan kecenderungan semakin mahal??Jika melirik sekilas kamar industri perbukuan, nampak tidak ada persoalan yang berarti. Dalam pengalaman Mas Ade (pemantik diskusi MCKM) memantau industri perbukuan di DIY, sembari membandingkan dengan hasil penelitiannya tentang sejarah perkembangannya pada kurun waktu 1998 – 2007, proses industri perbukuan berlangsung datar-stabil dengan aktivitas yang tidak berubah. Pemantik melihat bahwa alur atau proses produksi buku dari dulu sampai sekarang sama saja, yakni produksi akan selalu dimulai dari menemukan naskah, tahap pracetak, kemudian mencetak, hingga siap didistribusikan. Dalam setiap proses tersebut relative berjalan lancar. Terlebih industri perbukuan dalam konteks Yogyakarta, nyaris tanpa hambatan karena ditunjang oleh berbagai kemudahan mendapatkan semua komponen pendukung untuk penerbitan sebuah buku. Bahwa, "dengan jumlah kampus yang banyak,kita bisa menemukan sekian banyak penulis; dengan menjamurnya prodi desain grafis maka sekian banyak desain grafis bisa digunakan untuk buku; bahkan hampir di setiap gang ada percetakan mulai yang berskala besar hingga sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi sebuah buku". Betapapun demikian, kelancaran dan kemudahan dalam industri perbukuan ini bukan berarti tidak memiliki hambatan. Persoalan mulai muncul saat alur telah masuk pada pekerjaan pasca produksi. Pekerjaan pasca produksi salah satunya berhubungan dengan aspek pemasaran buku. Mas Ade merunut bahwa pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses administrasi yang rumit. distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga sekarang.
·         sistem pemasaran yang bermain diantara tiga aktor utama, penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%".
·         Tidak adanya kesempatan untuk buku baru,  dimana jika buku yang diproduksi kurang trend, maka sebentar saja akan segera disingkirkan dari floor display utama toko buku, karena termasuk dalam kategori tidak laris. Sehingga mengikuti arus pasar menjadi strategi untuk tetap berproduksi atau sebagai cara menjaga kelangsungan penerbitannya". Meskipun demikian, ada juga sebagian penerbit memainkan strategi antisipatif, yakni jika buku di pasar mainstream sudah tidak dilirik, maka sirkulasi dialihkan dengan mendekatkan pada konsumennya atau mencari pasar yang sesuai dengan jenis buku yang terbit tersebut. Namun model sedemikian cukup jarang terjadi. Dalam kisah pemantik (Mas Ade), pada tahun 2000-an awal, tema-tema yang minim (seperti 'khas Jogja') kurang diminati lagi oleh penerbit setara Gramedia. Dan semakin parah dengan tidak adanya pembaharuan dalam pola pemasaran yang berakibat pada semakin hilangnya buku-buku berkualitas (rujukan referensi) tergantikan oleh buku yang 'miskin pengetahuan'.
·         Kualitas yang tidak sebanding dengan harga, kualitas buku sekarang sangatlah berbeda jauh dengan buku terdahulu dimana isinya kurang lengkap dan jauh berbeda dengan kelengkapan buku terdahulu.
·         satu hal yang kiranya perlu lebih dicermati oleh penerbit bahwa sebenarnya banyak penulis-penulis muda dari akademisi yang masih membutuhkan ruang penerbitan untuk mendistribusikan ide-idenya. Namun hal itu sulit terwujud karena terkendala juga oleh alur industri perbukuan sendiri yang masih memprioritaskan penulis yang prominence.

4.      Cara mengatasi masalah
·         Introspeksi dalam industry buku
·         Adanya POD (Print on Demand) dalam dunia penerbitan. Mekanisme POD menawarkan pencetakan buku sesuai permintaan. Jadi buku dapat dicetak meski hanya 1 eksemplar, atau tergantung jumlah yang diinginkan. Mesin POD ini, menyelamatkan naskah-naskah yang dianggap kurang laku atau tidak diminati untuk tetap memenuhi kebutuhan sebagian konsumen lainnya. Keuntungan lain POD adalah dapat mempermudah orang awam memasuki dunia penerbitan. Begitu pula dengan para penulis baru yang membutuhkan ruang publikasi juga akan lebih mudah dengan POD. Kehadiran POD pun akhirnya banyak direspon oleh industri penerbitan di Jogja, mengingat hal ini juga dapat membantu kesinambungan penerbitannya.
·         Memberikan kesempatan kepada lulusan akademik untuk mengeluarkan ide-idenya agar produksi buku menjadi lebih bervariasi.
·         Isi buku yang menarik sehingga dapat menambah minat baca para pembaca.
·         Harga yang diberikan harus relative dan sesuai kantong. Agar antara kebutuhan dan pengeluaran itu balance.

Sumber :
Ø  Membongkar Industri Perbukuan Nasional

Selasa, 05 Juni 2012

MAHASISWA TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM KATEGORISASI ADOPTER

Keinovatifan (Innovativeness) adalah sejauh mana individu atau unit adopsi lain relatif lebih awal dalam mengadopsi ide-ide baru dari anggota lain dari suatu sistem. Keinovatifan merupakan perilaku utama dalaMproses difusi. (Everett,1995).
Katagori adobter pada difusi inovasi yaitu :
1.       Innovators : orang yang pertama kali mengadopsi inovasi. Individu-individu yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.
2.       Early Adopters (Perintis/Pelopor) : Orang yang menjadi perintis dalam penerimaan inovasi. Kelompok ini selalu mencari informasi tentang inovasi terbaru.
3.       Early Majority (Pengikut Dini) : para pengikut awal. Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi.
4.       Late Majority (Pengikut Akhir) :terakhir dalam menerima inovasi. Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan.
5.       Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional) : sangat ketinggalan zaman dan menolak inovasi. kelompok yang paling bersifat lokalit di dalam memandang suatu inovasi. Kebanyakan mereka terisolasi dari lingkungannya, sementara orientasi mereka kebanyakan adalah pada masa lalu.
Hubungan inovativeness dengan katagori adobter yaitu seperti kurva S yang digambarkan oleh Rogers: Adopter adalah orang yang memakai atau menerima suatu inovasi. Adopter dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan inovasi mereka (innovativeness) dan berdasarkan kecepatan mereka mengadopsi suatu inovasi yang diperkenalkan. Pembagian anggota sistem sosial ke dalam kelompok adopter (penerima inovasi) adalah berdasarkan tingkat keinovatifannya yakni lebih awal atau lebih lambatnya seseorang mengadopsi dibandingkan dengan anggota sistem lainya,
Setelah menganalisi semua yang memposting pendapat adopter di facebook dapat yang simpulkan bahwa  banyak yang menginginkan menjadi inovator setelah lulus dari teknologi pendidkan dan hal tersebut juga bisa di katagorikan dari yang menginginkan inovator tersebut yang mana ada yang ingin menjadi inovator yang kreatif  & inovatif, menjadi agen of change, dorongan profesi ,
Adapun yang memilih early adopter yaitu dia berpendapat mengapa memilih early adoptr dikaernakan  ingi ntahu dulu sebelum memakai inovasi tersebut . selain itu juga ada yang memilih dua adopter yaitu menjadi inovator dan early adopter munkin mengapa memilih dua adopter tersebut dikarena lulusan Teknologi pendidikan bukan di picu untuk membuat inovasi saja melainkan harus bisa mengembangkannya.

Tabel Ragam Opini
Katagori adopter
Pendapat mahasiswa TP
Jumlah
Invator A
Kreatif dan inovatif
8
Inovator B
 angen of change
4
Inovator C
Dorongan profesi lulusan TP
5
Early Adopter
Memakai setelah tahu efeknya
1
Inovator dan early Adopter A
Harus cepat tangap menerima inovasi
3
Inovator danearly adopter B
Bekal dari kuliah
1
Total
23

 Grafik Batang Kategorisasi Adopter


 Grafik Pie Kategorisasi Adopter




Setelah menganalisi semua yang memposting pendapat adopter di facebook dapat yang simpulkan bahwa  banyak yang menginginkan menjadi inovator setelah lulus dari teknologi pendidkan dan hal tersebut juga bisa di katagorikan dari yang menginginkan inovator tersebut yang mana ada yang ingin menjadi inovator yang kreatif  & inovatif, menjadi agen of change, dorongan profesi ,
Adapun yang memilih early adopter yaitu dia berpendapat mengapa memilih early adoptr dikaernakan  ingi ntahu dulu sebelum memakai inovasi tersebut . selain itu juga ada yang memilih dua adopter yaitu menjadi inovator dan early adopter munkin mengapa memilih dua adopter tersebut dikarena lulusan Teknologi pendidikan bukan di picu untuk membuat inovasi saja melainkan harus bisa mengembangkannya.