Rumusan Masalah :
·
Apakah pengertian buku?
·
Bagaimana keadaan industry buku di
Indonesia?
·
Kendala apa saja yang dihadapi dalam
industry buku?
·
Bagaimana cara mengatasinya?
1. Pengertian buku
Secara umum pengertian buku adalah
sebagai karya tulis ilmiah baik hasil tinjauan maupun hasil penelitian yang
disusun sedemikian rupa menurut persyaratan tertentu yang ditetapkan dan
diterbitkan. Menurut Totok Djuroto buku dibedakan berdasarkan tujuannya,
yaitu buku teks, buku pegangan, dan buku pelajaran.
Ensiklopedia Indonesia ( 1980:538) menjelaskan dalam arti luas buku
mencakup semua tulisan dan dan gambar yang ditulis dan dilukis atau segala
macam lembaran papyrus, lontar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya:
berupa gulungan, dilubangi dan diikat atau dijilid muka dan blakangnya dengan
kulit, kain karton dan kayu.
2. Keadaan
industry buku di Indonesia
Dalam
kemajuan teknologi saat ini yang semakin canggih dan cepat, membuat industry
buku konvensional (buku kertas), digital maupun elektronik harus mengikuti
perkembangan zaman tersebut, akan tetapi jika kita lihat dari biaya bukan tidak
mungkin akan terjadi inflasi dalam proses penerbitan buku maupun jual beli
buku. Karena seperti yang kita ketahui pula biaya produksi buku sangatlah tidak
sedikit. Lalu dimanakah peran pemerintah? Dimana mereka menjadikan buku sebagai
bisnis, yang setiap penerbitannya dikenai pajak. Harga buku yang tak seberapa
tak sebanding dengan pajak yang dikeluarkan, karena jumlah jenis pajak pun
terbanyak dibanding sector industry lain. Hal itu menyebabkan adanya
kesenjangan antara harga buku dan kualitas buku.
Dalam
Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
Jakarta 2011 menunjukkan hanya 15 persen penerbit meyakini ada keberpihakan
pemerintah dalam produksi buku. Masyarakat memang mengapresiasikan pembentukan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dua tahun lalu, tetapi kehadirannya
belum memberikan dampak langsung pada pertumbuhan industri buku. Padahal
persentase nilai tambah ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan
menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan 12 subsektor ekonomi kreatif
lain, sebesar 17,5 persen.
Di saat yang sama,
serupa pada industri media massa cetak, ramalan Thomas Meyer bahwa industri
cetak akan mati, tetap jadi prediksi yang terus menghantui. Cetak tidak akan
mati, ya, tetapi ketika tren penurunan media cetak termasuk buku terus merosot,
yang diperlukan bukan hanya keyakinan, malainkan juga upaya supaya tidak
melorot dan apalagi benar-benar habis.
Banyak dilakukan terobosan
yang di kalangan industri media massa dikembangkan strategi multimedia,
multiplatform, multichannel (3M). Kehadiran digital dan elektronik menjadi
komplementer dan tidak saling mengerkah. Sinergi menjadi keniscayaan agar bisa
bertahan dan berkembang. Strategi tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun lebih
awal dibanding Indonesia oleh para penerbit luar negeri.
3. Kendala dalam Industri Perbukuan
·
Harga
produksi yang relative mahal sehingga membuat
pembeli terkadang harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan sebuah
buku. Mengapa harga buku berfluktuasi dengan
kecenderungan semakin mahal??Jika melirik sekilas kamar industri perbukuan,
nampak tidak ada persoalan yang berarti. Dalam pengalaman Mas Ade (pemantik
diskusi MCKM) memantau industri perbukuan di DIY, sembari membandingkan dengan
hasil penelitiannya tentang sejarah perkembangannya pada kurun waktu 1998 –
2007, proses industri perbukuan berlangsung datar-stabil dengan aktivitas yang
tidak berubah. Pemantik melihat bahwa alur atau proses produksi buku dari dulu
sampai sekarang sama saja, yakni produksi akan selalu dimulai dari menemukan
naskah, tahap pracetak, kemudian mencetak, hingga siap didistribusikan. Dalam
setiap proses tersebut relative berjalan lancar. Terlebih industri perbukuan dalam
konteks Yogyakarta, nyaris tanpa hambatan karena ditunjang oleh berbagai
kemudahan mendapatkan semua komponen pendukung untuk penerbitan sebuah buku.
Bahwa, "dengan jumlah kampus yang banyak,kita bisa menemukan sekian banyak
penulis; dengan menjamurnya prodi desain grafis maka sekian banyak desain
grafis bisa digunakan untuk buku; bahkan hampir di setiap gang ada percetakan
mulai yang berskala besar hingga sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk
produksi sebuah buku". Betapapun demikian, kelancaran dan kemudahan dalam
industri perbukuan ini bukan berarti tidak memiliki hambatan. Persoalan mulai
muncul saat alur telah masuk pada pekerjaan pasca produksi. Pekerjaan pasca
produksi salah satunya berhubungan dengan aspek pemasaran buku. Mas Ade merunut
bahwa pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena banyak
penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini sedikitnya
disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses administrasi yang
rumit. distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga sekarang.
·
sistem
pemasaran
yang bermain diantara tiga aktor utama, penerbit, distributor dan toko buku
ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai
jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini,
ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap
penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi
(titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%".
·
Tidak
adanya kesempatan untuk buku baru, dimana jika buku yang
diproduksi kurang trend, maka sebentar saja akan segera disingkirkan dari floor
display utama toko buku, karena termasuk dalam kategori tidak laris. Sehingga
mengikuti arus pasar menjadi strategi untuk tetap berproduksi atau sebagai cara
menjaga kelangsungan penerbitannya". Meskipun demikian, ada juga sebagian penerbit memainkan strategi
antisipatif, yakni jika buku di pasar mainstream sudah tidak dilirik, maka
sirkulasi dialihkan dengan mendekatkan pada konsumennya atau mencari pasar yang
sesuai dengan jenis buku yang terbit tersebut. Namun model sedemikian cukup
jarang terjadi. Dalam kisah pemantik (Mas Ade), pada tahun 2000-an awal,
tema-tema yang minim (seperti 'khas Jogja') kurang diminati lagi oleh penerbit
setara Gramedia. Dan semakin parah dengan tidak adanya pembaharuan dalam pola
pemasaran yang berakibat pada semakin hilangnya buku-buku berkualitas (rujukan
referensi) tergantikan oleh buku yang 'miskin pengetahuan'.
·
Kualitas
yang tidak sebanding dengan harga, kualitas buku sekarang sangatlah berbeda jauh
dengan buku terdahulu dimana isinya kurang lengkap dan jauh berbeda dengan
kelengkapan buku terdahulu.
·
satu hal yang kiranya perlu lebih dicermati oleh penerbit bahwa
sebenarnya banyak penulis-penulis muda dari akademisi yang masih membutuhkan
ruang penerbitan untuk mendistribusikan ide-idenya. Namun hal itu sulit
terwujud karena terkendala juga oleh alur industri perbukuan sendiri yang masih
memprioritaskan penulis yang prominence.
4.
Cara mengatasi masalah
·
Introspeksi
dalam industry buku
·
Adanya
POD (Print on Demand) dalam dunia penerbitan.
Mekanisme POD menawarkan pencetakan buku sesuai permintaan. Jadi buku dapat
dicetak meski hanya 1 eksemplar, atau tergantung jumlah yang diinginkan. Mesin
POD ini, menyelamatkan naskah-naskah yang dianggap kurang laku atau tidak
diminati untuk tetap memenuhi kebutuhan sebagian konsumen lainnya. Keuntungan
lain POD adalah dapat mempermudah orang awam memasuki dunia penerbitan. Begitu
pula dengan para penulis baru yang membutuhkan ruang publikasi juga akan lebih
mudah dengan POD. Kehadiran POD pun akhirnya banyak direspon oleh industri
penerbitan di Jogja, mengingat hal ini juga dapat membantu kesinambungan
penerbitannya.
·
Memberikan
kesempatan kepada lulusan akademik untuk mengeluarkan ide-idenya agar produksi
buku menjadi lebih bervariasi.
·
Isi
buku yang menarik sehingga dapat menambah minat baca para pembaca.
·
Harga
yang diberikan harus relative dan sesuai kantong. Agar antara kebutuhan dan
pengeluaran itu balance.
Sumber :
Ø Membongkar Industri Perbukuan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar